Kewenangan Penuntut Umum Mengajukan Peninjauan Kembali Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi No. 33/PUU-XIV/2016

Putusan MK No. 33/PUU-XIV/2016 menyatakan bahwa Pasal 263 ayat (1) KUHAP secara bersyarat bertentangan dengan UUD 1945 sepanjang dimaknai lain selain yang secara eksplisit tersurat dalam norma a quo. Oleh karena itu yang berhak melakukan peninjauan kembali adalah terpidana dan ahli warisnya. Jaksa P...

Full description

Bibliographic Details
Main Author: Ajie Ramdan
Format: Article
Language:English
Published: Badan Penelitian dan Pengembangan Hukum dan HAM 2017-07-01
Series:Jurnal Ilmiah Kebijakan Hukum
Subjects:
Online Access:https://ejournal.balitbangham.go.id/index.php/kebijakan/article/view/259
Description
Summary:Putusan MK No. 33/PUU-XIV/2016 menyatakan bahwa Pasal 263 ayat (1) KUHAP secara bersyarat bertentangan dengan UUD 1945 sepanjang dimaknai lain selain yang secara eksplisit tersurat dalam norma a quo. Oleh karena itu yang berhak melakukan peninjauan kembali adalah terpidana dan ahli warisnya. Jaksa Penuntut Umum tidak berwenang melakukan Peninjauan Kembali. Hal ini menimbulkan permasalahan baru bagi Jaksa Penuntut Umum yang mewakili negara dan juga korban. Penulis menganalisa Perlindungan Korban Kejahatan Untuk Mengajukan Peninjauan Kembali Pasca Putusan MK tersebut. Dalam praktik Putusan Peninjauan Kembali Nomor: 55 K/Pid/1996 yang menjadi yurisprudensi Mahkamah Agung merupakan pembaharuan hukum. Dengan adanya Putusan MK No. 33/PUU-XIV/2016 telah mengesampingkan yurisprudensi yang merupakan pembaharuan hukum dan tentunya tidak menjamin hak korban kejahatan dalam mengajukan Peninjauan Kembali yang diwakili oleh Jaksa Penuntut Umum.
ISSN:1978-2292
2579-7425