Bahasa dan Struktur Sosial

<p>Keterkaitan bahasa dengan konteks sosial budaya yang sangat erat telah<br />membantu bahasa itu sendiri untuk melahirkan varian-varian cabangnya. Paling<br />tidak, satu bahasa standar memiliki satu varian cabang yang disebut dengan<br />bahasa percakapan “yang tidak stand...

Full description

Bibliographic Details
Main Author: Abdul Hafidz Zaid
Format: Article
Language:Arabic
Published: Universitas Darussalam Gontor 2012-06-01
Series:At-Ta'dib
Subjects:
Online Access:https://ejournal.unida.gontor.ac.id/index.php/tadib/article/view/531
_version_ 1797974257037213696
author Abdul Hafidz Zaid
author_facet Abdul Hafidz Zaid
author_sort Abdul Hafidz Zaid
collection DOAJ
description <p>Keterkaitan bahasa dengan konteks sosial budaya yang sangat erat telah<br />membantu bahasa itu sendiri untuk melahirkan varian-varian cabangnya. Paling<br />tidak, satu bahasa standar memiliki satu varian cabang yang disebut dengan<br />bahasa percakapan “yang tidak standar”.<br />Perbedaan tingkat bahasa inilah, yang menyebabkan munculnya fenomena<br />diglossia, sehingga dalam bahasa Arab, misalnya, terdapat bahasa fushâ dan Âmiyah.<br />Meskipun perbedaan antara keduanya tidak terlalu mencolok, namun tetap saja<br />mampu menggambarkan tingkat sosial masing-masing penuturnya, Fushâ<br />dianggap sebagai bahasa resmi dan milik masyarakat struktur sosial tinggi,<br />sedangkan Âmiyah dianggap tidak resmi dan dimiliki oleh masyarakat struktur<br />sosial rendah.<br />Sebenarnya keresmian dan kehalusan bahasa ini banyak didasarkan pada<br />unsur kepantasan, dan standar kepantasan yang diterapkan oleh masing-masing<br />bangsa berbeda-beda.<br />Bahasa adalah cerminan budaya masyarakat penuturnya, sehingga dapat<br />dikatakan bahwa seksisme dalam bahasa Arab adalah cerminan budaya patriarkis<br />masyarakatnya. Masyarakat Arab memandang segala sesuatu yang berhubungan<br />dengan wanita harus dilindungi dan dijaga, dan pria memiliki peran sentral dalam<br />kehidupan keluarga dan masyarakat. Maka dari itu, dalam bahasa Arab, hampir<br />semua kata yang menunjukkan wanita (mu’annats) adalah kata bertanda (marked),<br />yang asalnya adalah kata dengan pengertian laki-laki (mudzakkar). Tanda-tanda<br />yang dibubuhkan biasanya dalam bentuk ta’ marbûkah, alif maqcûrah, dan alif<br />mamdûdah.<br />Contoh lain dari hal ini dapat dilihat pada fenomena pemberian nama<br />yang baik pada anak-anak perempuan, sehingga dengan nama yang baik ini<br />anak-anak perempuan mereka dapat terjaga dan terlindungi.</p>
first_indexed 2024-04-11T04:17:09Z
format Article
id doaj.art-30d91f07b03442fea76ca9f149cf7ab1
institution Directory Open Access Journal
issn 0216-9142
2503-3514
language Arabic
last_indexed 2024-04-11T04:17:09Z
publishDate 2012-06-01
publisher Universitas Darussalam Gontor
record_format Article
series At-Ta'dib
spelling doaj.art-30d91f07b03442fea76ca9f149cf7ab12022-12-31T11:03:37ZaraUniversitas Darussalam GontorAt-Ta'dib0216-91422503-35142012-06-017110.21111/at-tadib.v7i1.531477Bahasa dan Struktur SosialAbdul Hafidz Zaid0Fakultas Tarbiyah Universitas Darussalam Gontor<p>Keterkaitan bahasa dengan konteks sosial budaya yang sangat erat telah<br />membantu bahasa itu sendiri untuk melahirkan varian-varian cabangnya. Paling<br />tidak, satu bahasa standar memiliki satu varian cabang yang disebut dengan<br />bahasa percakapan “yang tidak standar”.<br />Perbedaan tingkat bahasa inilah, yang menyebabkan munculnya fenomena<br />diglossia, sehingga dalam bahasa Arab, misalnya, terdapat bahasa fushâ dan Âmiyah.<br />Meskipun perbedaan antara keduanya tidak terlalu mencolok, namun tetap saja<br />mampu menggambarkan tingkat sosial masing-masing penuturnya, Fushâ<br />dianggap sebagai bahasa resmi dan milik masyarakat struktur sosial tinggi,<br />sedangkan Âmiyah dianggap tidak resmi dan dimiliki oleh masyarakat struktur<br />sosial rendah.<br />Sebenarnya keresmian dan kehalusan bahasa ini banyak didasarkan pada<br />unsur kepantasan, dan standar kepantasan yang diterapkan oleh masing-masing<br />bangsa berbeda-beda.<br />Bahasa adalah cerminan budaya masyarakat penuturnya, sehingga dapat<br />dikatakan bahwa seksisme dalam bahasa Arab adalah cerminan budaya patriarkis<br />masyarakatnya. Masyarakat Arab memandang segala sesuatu yang berhubungan<br />dengan wanita harus dilindungi dan dijaga, dan pria memiliki peran sentral dalam<br />kehidupan keluarga dan masyarakat. Maka dari itu, dalam bahasa Arab, hampir<br />semua kata yang menunjukkan wanita (mu’annats) adalah kata bertanda (marked),<br />yang asalnya adalah kata dengan pengertian laki-laki (mudzakkar). Tanda-tanda<br />yang dibubuhkan biasanya dalam bentuk ta’ marbûkah, alif maqcûrah, dan alif<br />mamdûdah.<br />Contoh lain dari hal ini dapat dilihat pada fenomena pemberian nama<br />yang baik pada anak-anak perempuan, sehingga dengan nama yang baik ini<br />anak-anak perempuan mereka dapat terjaga dan terlindungi.</p>https://ejournal.unida.gontor.ac.id/index.php/tadib/article/view/531fushâ dan âmiyah, bahasa percakapan, diglossia, budaya patriarkis
spellingShingle Abdul Hafidz Zaid
Bahasa dan Struktur Sosial
At-Ta'dib
fushâ dan âmiyah, bahasa percakapan, diglossia, budaya patriarkis
title Bahasa dan Struktur Sosial
title_full Bahasa dan Struktur Sosial
title_fullStr Bahasa dan Struktur Sosial
title_full_unstemmed Bahasa dan Struktur Sosial
title_short Bahasa dan Struktur Sosial
title_sort bahasa dan struktur sosial
topic fushâ dan âmiyah, bahasa percakapan, diglossia, budaya patriarkis
url https://ejournal.unida.gontor.ac.id/index.php/tadib/article/view/531
work_keys_str_mv AT abdulhafidzzaid bahasadanstruktursosial