Pandemi Covid-19: Perspektif Hukum Tata Negara Darurat dan Perlindungan HAM

Banyak negara bimbang menggunakan instrumen hukum mana yang tepat agar dapat menanggulangi krisis akibat pandemi Covid-19. Ada yang memilih menetapakan keadaan darurat berdasar konstitusi, menggunakan UU yang berlaku tentang kebencanaan atau krisis kesehatan, dan melakukan legislasi baru. Penetapan...

Full description

Bibliographic Details
Main Author: Rizki Bagus Prasetio
Format: Article
Language:English
Published: Badan Penelitian dan Pengembangan Hukum dan HAM 2021-07-01
Series:Jurnal Ilmiah Kebijakan Hukum
Subjects:
Online Access:https://ejournal.balitbangham.go.id/index.php/kebijakan/article/view/1751
_version_ 1797806162539708416
author Rizki Bagus Prasetio
author_facet Rizki Bagus Prasetio
author_sort Rizki Bagus Prasetio
collection DOAJ
description Banyak negara bimbang menggunakan instrumen hukum mana yang tepat agar dapat menanggulangi krisis akibat pandemi Covid-19. Ada yang memilih menetapakan keadaan darurat berdasar konstitusi, menggunakan UU yang berlaku tentang kebencanaan atau krisis kesehatan, dan melakukan legislasi baru. Penetapan keadaan darurat memungkinkan negara melakukan penyimpangan keberlakuan hukum bahkan menangguhkan HAM sementara waktu. Oleh kerenanya penetapan status darurat berpotensi disalahgunakan dan berakibat pada tereduksinya jaminan perlindungan HAM. Tulisan ini menjelaskan kebijakan pemerintah Indonesia dalam memilih instrumen hukum untuk menanggulangi Pandemi Covid-19 disatu sisi dan disisi lain bagaimana pemerintah tetap menjamin perlindungan HAM. Hasilnya, meskipun Pasal 12 UUD 1945 menyediakan ketentuan keadaan darurat konstitusional, Indonesia memilih menggunakan Kedaruratan Kesehatan dalam UU 6 Tahun 2018 dan Darurat Bencana Non Alam dalam UU 24 Tahun 2007. Dua status darurat tersebut tidak sama sekali melibatkan Pasal 12 UUD 1945 sebagai dasar pembentukannya. Sehingga keadaan darurat dimaksud bukanlah state of emergency sebagaimana dimaksud dalam kajian hukum tata negara darurat atau hanya bersifat de facto bukan de jure. Selain itu, dua status darurat tersebut tidak memuat berbagai syarat yang sudah diamanatkan ICCPR. Oleh karenanya perlindungan HAM harus tetap dipenuhi. Meskipun ada pembatasan, hal tersebut tentunya tidak berlaku bagi hak yang bersifat mendasar apalagi terhadap kelompok non derogable rights.
first_indexed 2024-03-13T06:03:05Z
format Article
id doaj.art-5f9b0e32e32449efab4ff3258831fd8c
institution Directory Open Access Journal
issn 1978-2292
2579-7425
language English
last_indexed 2024-03-13T06:03:05Z
publishDate 2021-07-01
publisher Badan Penelitian dan Pengembangan Hukum dan HAM
record_format Article
series Jurnal Ilmiah Kebijakan Hukum
spelling doaj.art-5f9b0e32e32449efab4ff3258831fd8c2023-06-12T08:23:54ZengBadan Penelitian dan Pengembangan Hukum dan HAMJurnal Ilmiah Kebijakan Hukum1978-22922579-74252021-07-0115232734610.30641/kebijakan.2021.V15.327-346443Pandemi Covid-19: Perspektif Hukum Tata Negara Darurat dan Perlindungan HAMRizki Bagus Prasetio0Badan Penelitian dan Pengembangan Hukum dan HAMBanyak negara bimbang menggunakan instrumen hukum mana yang tepat agar dapat menanggulangi krisis akibat pandemi Covid-19. Ada yang memilih menetapakan keadaan darurat berdasar konstitusi, menggunakan UU yang berlaku tentang kebencanaan atau krisis kesehatan, dan melakukan legislasi baru. Penetapan keadaan darurat memungkinkan negara melakukan penyimpangan keberlakuan hukum bahkan menangguhkan HAM sementara waktu. Oleh kerenanya penetapan status darurat berpotensi disalahgunakan dan berakibat pada tereduksinya jaminan perlindungan HAM. Tulisan ini menjelaskan kebijakan pemerintah Indonesia dalam memilih instrumen hukum untuk menanggulangi Pandemi Covid-19 disatu sisi dan disisi lain bagaimana pemerintah tetap menjamin perlindungan HAM. Hasilnya, meskipun Pasal 12 UUD 1945 menyediakan ketentuan keadaan darurat konstitusional, Indonesia memilih menggunakan Kedaruratan Kesehatan dalam UU 6 Tahun 2018 dan Darurat Bencana Non Alam dalam UU 24 Tahun 2007. Dua status darurat tersebut tidak sama sekali melibatkan Pasal 12 UUD 1945 sebagai dasar pembentukannya. Sehingga keadaan darurat dimaksud bukanlah state of emergency sebagaimana dimaksud dalam kajian hukum tata negara darurat atau hanya bersifat de facto bukan de jure. Selain itu, dua status darurat tersebut tidak memuat berbagai syarat yang sudah diamanatkan ICCPR. Oleh karenanya perlindungan HAM harus tetap dipenuhi. Meskipun ada pembatasan, hal tersebut tentunya tidak berlaku bagi hak yang bersifat mendasar apalagi terhadap kelompok non derogable rights.https://ejournal.balitbangham.go.id/index.php/kebijakan/article/view/1751covid-19keadaan darurathukum tata negara darurathak asasi manusia
spellingShingle Rizki Bagus Prasetio
Pandemi Covid-19: Perspektif Hukum Tata Negara Darurat dan Perlindungan HAM
Jurnal Ilmiah Kebijakan Hukum
covid-19
keadaan darurat
hukum tata negara darurat
hak asasi manusia
title Pandemi Covid-19: Perspektif Hukum Tata Negara Darurat dan Perlindungan HAM
title_full Pandemi Covid-19: Perspektif Hukum Tata Negara Darurat dan Perlindungan HAM
title_fullStr Pandemi Covid-19: Perspektif Hukum Tata Negara Darurat dan Perlindungan HAM
title_full_unstemmed Pandemi Covid-19: Perspektif Hukum Tata Negara Darurat dan Perlindungan HAM
title_short Pandemi Covid-19: Perspektif Hukum Tata Negara Darurat dan Perlindungan HAM
title_sort pandemi covid 19 perspektif hukum tata negara darurat dan perlindungan ham
topic covid-19
keadaan darurat
hukum tata negara darurat
hak asasi manusia
url https://ejournal.balitbangham.go.id/index.php/kebijakan/article/view/1751
work_keys_str_mv AT rizkibagusprasetio pandemicovid19perspektifhukumtatanegaradaruratdanperlindunganham