Kejahatan dalam perspektif filsafat proses whitehead

Penelitian ini bertujuan menginventarisasi, mendeskripsikan, dan menganalisis secara kritis hakikat kejahatan atas pandangan Filsafat Proses Whitehead. Penelitian ini murni studi kepustakaan. Data primer dikumpulkan dari karya-karya Whitehead. Metode yang digunakan hermeneutika-filosofis dengan uns...

Full description

Bibliographic Details
Main Authors: Siswanto, Joko, Budisutrisna, Budisutrisna
Format: Other
Language:English
Published: Lembaga Penelitian Universitas Gadjah Mada 1999
Subjects:
Online Access:https://repository.ugm.ac.id/279022/1/Kejahatan%20Dalam%20Persepsi%20Filsafat%20Proses%20Whitehead_Joko%20Siswanto_1999.pdf
Description
Summary:Penelitian ini bertujuan menginventarisasi, mendeskripsikan, dan menganalisis secara kritis hakikat kejahatan atas pandangan Filsafat Proses Whitehead. Penelitian ini murni studi kepustakaan. Data primer dikumpulkan dari karya-karya Whitehead. Metode yang digunakan hermeneutika-filosofis dengan unsur metodis umum filsafat: deskripsi, komparasi, dan refleksi. Hasil penelitian sebagai berikut: 1. Kejahatan bukan suatu res atau entitas yang eksis secara primodial (berdiri sendiri). Kejahatan bersifat parasit (menempel dan menggerogoti) pada kebaikan. 2. Kejahatan tidak bersifat subjektif (berasal dari subjek) atau objektif (bersumber dari luar subjek) tetapi bersifat relatif dan inter-relasi. Sesuatu dapat dikategorikan jahat atau tidak jahat tergantung pada pola-pola pengalaman yang dimiliki oleh sosialitas entitas aktual. 3. Kejahatan eksis jikalau entitas aktual dalam menuju unifikasi (penyatuan) mengalami suatu penderitaan. Penderitaan ini disebabkan karena: degradasi, destruksi, dostorsi,dam cross purpose (menuju tujuan dengan jalan pintas) yang menyebabkan terjadinya disorder (ketidakteraturan). 4. Ada tiga jalan untuk mengatasi kejahatan: triviality (penyepelean), destruksi estetis (beroposisi dengan cara yang estetis), dan readjusment (penyesuaian kembali). 5. Terkait dengan masalah Tuhan, kejahatan dianggap sebagai suatu internal inkosistensi; sedangkan tuhan sebagai Alpha-Omega (awal-akhir penciptaan) tidak mengenal internal konsistensi; Ia hakikatnya suatu self-consistent (Diri yang konsisten, tak ada kontradiksi).