PENGOLAHAN LIMBAH CAIR PENYAMAKAN KULIT DENGAN SERBUK BATU KAPUR DAN PEMUNGUTAN KEMBALI SENYAWA KHROM

Limbah cair penyamakan kulit yang menggunakan senyawa khrom sangat berbahaya karena mengandung senyawa khrom yang cukup tinggi, senyawa sulfid, dan asam sulfat. Di samping itu, dalam cairan itu terdapat sisa-sisa daging, darah, dan zat organik yang sudah membusuk sehingga menimbulkan bau yang tidak...

Full description

Bibliographic Details
Main Author: , Sri Warnijati, Suprihastuti Sri Rahayu, dan Ida Bagus Agra
Format: Article
Published: [Yogyakarta] : Lembaga Penelitian UGM 2002
Description
Summary:Limbah cair penyamakan kulit yang menggunakan senyawa khrom sangat berbahaya karena mengandung senyawa khrom yang cukup tinggi, senyawa sulfid, dan asam sulfat. Di samping itu, dalam cairan itu terdapat sisa-sisa daging, darah, dan zat organik yang sudah membusuk sehingga menimbulkan bau yang tidak sedap. Oksigen yang terlarut dalam cairan hampir habis sebab dipakai oleh mikroorganisme yang ada untuk mencerna zat organik. Oleh karena itu, kalau dibuang sekehendak hati, lingkungan hidup akan tercemar sekali. Bau busuk amat mengganggu penduduk yang tinggal di sekitar pembuangan limbah atau orang yang kebetulan lewat. Ikan yang hidup di sungai akan mati bila airnya tercampur oleh limbah cair penyamakan kulit. Hewan dan manusia yang meminum air tercemar akan terserang penyakit kanker paru, jantung berlubang, penyakit kulit, dan penyakit lain. Bila dipakai sebagai air irigasi, tanaman akan mati atau hidup merana. Sesungguhnya, pabrik pabrik penyamakan kulit harus memiliki unit pengolahan limbah sebelum dibuang, limbah cair itu harus diolah dulu dan sesudah memenuhi baku mutu, barulah cairan itu boleh dibuang ke sungai. Akan tetapi, tidak jarang unit pengolahan limabh itu tidak dijalankan dan limbah cair itu langsung dibuang ke sungai melalui saluran rahasia. Tindakan kurang terpuji itu mungkin timbul karena kurangnya kesadaran pemilik pabrik akan arti pentingnya lingkungan atau karena biaya pengolahan dianggap terlalu tinggi. Sebagai akibat, rakyatlah yang menderita. Sebab itu, masalah limbah cair penyamakan kulit perlu sekali dicari pemecahannya. Pemungutan khrom dari lembah penyamakan kulit dengan elektrolisis, terlalu mahal dan hasilnya kurang memuaskan. Penambahan larutan soda api kedalam limbah cair itu juga kurang menguntungkan sebab, selain mahal, kelebihan NaOH dapat melarutkan endapan khromi hidroksid. Pemakaian serbuk kapur padam untuk mengolah limbah cair memberikan hasil yang cukup memuaskan, tetapi pereaksi itu harus dibuat dari batu kapur melalui dua tahap pemprosesan, yaitu pembakaran pada suhu 900ºC (perlu biaya banyak), dan pemadaman dengan air. Salah satu cara yang lebih efisien, murah, dan tidak sulit adalah menggunakan serbuk batu kapur untuk mengolah limbah cair penyamakan kulit secara sinambung dengan arus berlawanan arah di dalam reaktor tegak yang berpenghalang miring dan bergerigi. Percobaan dimulai dengan mengisi reaktor dengan cairan bekas pengolahan sebelumnya atau dengan air sampai penuh, lalu disusul dengan penggelembungan udara yang berfungsi sebagai pengaduk, pengoksidasi zat organik, pengusir bau, dan meningkatkan jumlah oksigen larut. Setelah cairan yang meluap ditampung dan ditakar, limbah cair diumpankan dari bagian bawah reaktor dan serbauk batu kapur dicurahkan pelan-pelan dari puncak kolom dalam waktu yang hampir bersamaan. Secara berkala diambil cuplikan dari luapan hasil untuk ditentukan pH-nya. Pekerjaan itu diteruskan sampai pH hasil tidak berubah lagi, yang berarti bahwa keadaan ajeg sudah tercapai. Cuplikan yang diambil pada keadaan ajeg dianalisis untuk menentukan konsentrasi khrom yang masih tersisa dalam larutan. Variabel yang dipelajari meliputi waktu tinggal, kecepatan aliran udara pengaduk, ukuran butir batu kapur, suhu perbandingan pereaksi, dan konsentrasi awal khrom. Konsentrasi khrom dalam cairan hasil ditentukan secara standar dengan mengoksidasi senyawa khromi dengan larutan amonium persulfat dengan bantuan katalisator argentum nitrat dan asam sulfat. Selanjutnya dikhromat yang terbentuk, direduksi dengan larutan fero amonium sulfat berlebihan, sesudah persulfat yang tidak bereaksi dihilangkan, sisa fero amonium sulfat di litrasi kembali dengan larutan standar kalium dikhromat dengan asam N-fenilantranilat sebagai indikator. Nilai pH dicari dengan bantuan pH-meter. Hasil penelitian menunjukkan bahwa waktu tinggal yang semakin panjang meningkatkan khrom yang dapat diendapkan. Proses pengolahan mengikuti reaksi orde satu semu terhadap konsentrasi khrom. Pengaruh kecepatan aliran udara yang semakin besar agak memperbesar khrom yang mengendap, tetapi perubahannya hanya tampak pada kecepatan antara 850 sampai 1200 mL/menit. Butir batu kapur besar pengaruhnya. Suhu menunjukkan pengaruh positif pada proses pengendapan khromi hidroksid dan konstante kecepatan reaksi dipengaruhi oleh suhu sesuai dengan persamaan Arrhenius dengan tenaga pengaktif 4186,65 cal/gmol dan faktor frekuensi 39,76 men-1. Perbandingan ekuivalen CaCO3 � Cr+3 tidaklah besar kecuali pada daerah disekitar titik ekuivalennya. Pengenceran limbah cair dengan air agak menurunkan kecepatan pengendapan khromi hidroksid. Keadaan proses yang relatif baik dicapai pada waktu tinggal 60 - 70 menit, kecepatan aliran udara 1000 � 1200 mL/men, diameter serbuk batu kapur 0,06 � 0,07 mm, suhu 28 - 500C, perbandingan ekuivalen CaCO3 � Cr+3 4 � 7, dan konsentrasi awal khrom 4,8 g/L (yaitu limbah cair asli). Pada keadaan itu, khrom yang dapat diendapkan lebih dari 98 % dan cairan hasil pengolahan limbah tidak berwarna dan mempunyai pH 7 atau lebih. Dengan demikian, cairan akhir yang diperoleh tidak terlalu menyimpang dari ambang batas yang diperkenankan. Jadi, secara umum dapat dikatakan bahwa cara ini memang cukup baik.